Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 18 Januari 2014

Rumah di Ujung Kampung

CERPEN | Hang Kafrawi


[ArtikelKeren] CERPEN - Seorang lelaki berusia 70 tahun, duduk di tangga depan rumah panggungnya yang terbuat dari papan. Cahaya pelita dari dalam rumah, membentuk cahaya garis-garis ke tanah melalui dindingnya yang jarang. Lelaki tua itu menatap tajam ke depan, memandangi gelap yang menyelimuti hutan di hadapannya. Berkali-kali tangannya bergerak ke mulut, meletakan rokok kretek ke bibir, lalu rokok tersebut dihisap, asap pun mengepul keluar dari hidungnya. Berkali-kali ia melakukan hal itu dengan menatap tajam ke depan.

Suara binatang malam terus saja meningkah perjalanan waktu. Angin yang tidak begitu kencang, menciptakan tarian daun-daun. Suara desiran yang terlahir dari sentuhan angin ke daun-daun menciptakan dingin, namun lelaki tua itu tidak merasakan kesejukan. Ia masih tetap duduk di tangga depan rumahnya. Tiada rasa ketakutan sedikit pun dari wajahnya, padahal gelap semakin tebal menyelimuti seluruh kampung.

Bagi lelaki tua itu, gelap dan sunyi adalah teman. Teman yang tak pernah jemu berkunjung saban waktu ketika malam menjelma. Lelaki tua itu selalu berpikir bahwa kehendak alam adalah kehendak dirinya. Ia tidak akan pernah mengkhianati alam, walaupun nyawa hilang dari badan. Tersebab setia kepada kehendak alamlah, lelaki tua itu rela hidup sendiri di rumah yang berada di ujung kampung ini.

Dulu, sebelum perusahaan pembabat hutan datang, di kawasan rumah lelaki tua itu, ada ratusan rumah. Mereka harus rela mengungsi disebabkan himpitan ekonomi. Tanah berserta isinya, terpaksa dan dipaksa dijual ke pihak perusahaan. Pihak perusahaan dengan mengantongi izin dari pemerintah memberi ganti rugi yang tidak sepadan kepada masyarakat yang mendiami kawasan itu. Pihak perusahaan memiliki kekuatan dengan izin yang dikeluarkan pemerintah, sementara masyarakat tidak memiliki surat atas tanah itu. Padahal tanah itu sudah jadi milik mereka dari nenek moyang secara turun-temurun.

Cuma lelaki tua itu yang bertahan. Lelaki tua yang tidak memiliki istri dan anak itu, berkeyakinan bahwa tanahnya adalah kuburannya. Siapapun tidak akan pernah dapat mengusirnya, kecuali kehendak alam yang diutus olah Sang Maha Kuasa.

"Sudahlah, Wak, kite pindah saje dari sini,’’ suara Daham membujuk lelaki tua itu beberapa tahun yang lalu. Dan suara itu masih mengiang di telinga lelaki tua tersebut.

"Ye, Wak. Kite tak mungkin dapat melawan perusahaan itu. Perusahaan memiliki izin, sementara kite tidak. Kite akan habis melawan perusahaan itu, Wak,’’ kata Karim pula.

"Tidak! Sejengkal pun aku tak akan pernah pindah dari tanah milik aku ini!’’ bantah lelaki tua itu.

"Wak menunggu ape lagi di sini? Semue orang dah pindah, tinggal Wak sendiri saje yang belum pindah,’’ Daham membujuk lelaki tua itu.

"Betul tu, Wak. Walaupun tanah di tempat kita yang baru itu tidak seluas tanah kita di sini, tapi hidup kite aman. Tak ade lagi ancaman dan teror. Kite hidup tenang di kawasan baru itu, Wak,’’ tambah Karim.

"Ini tanah aku! Tanah inilah marwah aku satu-satunye!’’ ujar lelaki tua itu sambil bercengkak pingang. ‘’Kalau mike nak pindah, pindahlah! Aku tidak!’’ kata lelaki tua itu lagi.

Lelaki tua itu masih menghisap rokok kretek yang ada di tangannya. Ia menarik nafas panjang-panjang. Raut mukanya memancarkan kelelahan yang tidak berujung. Namun ia tidak mau beranjak dari tangga rumahnya, walau hujan rintik-rintik telah pula bersatu dengan malam yang semakin gelap.

Mata lelaki tua itu menyapu ke arah depan. Dengan sigap ia memperhatikan semak-semak di depan yang bergerak secara tiba-tiba. Setahun belakangan ini lelaki tua itu memang harus waspada. Setelah tetangganya semua pindah, teror selalu saja datang berkunjung ke dirinya. Lelaki tua itu tidak mau menuduh, namun di hatinya, ia yakin bahwa teror itu datang dari pihak perusahaan.

Pernah tiga bulan yang lalu, rumahnya dibakar. Untung saja pada waktu itu ia cepat pulang dari hutan, kalau tidak tentulah rumah yang atapnya terbuat dari rumbia dan dinding terbuat dari papan sudah menjadi arang dan rata dengan tanah. Waktu itu api baru membakar dapur rumahnya, dengan sigap, orang tua itu memadamkan api yang belum besar itu.

"Percuma kalian membakar rumahku, aku tetap akan bertahan,’’ ucap lelaki tua itu dengan wajah memerah menahan geram.

Semak di depan orang tua itu semakin kuat bergoyang. Lelaki tua itu pun berdiri. Parang yang disembunyikan di balik dinding dekat pintu dikeluarkan dan ia pun menggenggam kuat-kuat hulu parang itu. Suara binatang malam semakin melengking meningkah waktu. Angin berhembus agak kencang, dan rintik-rintik hujan semakin laju jatuh ke tanah.

Lelaki tua dengan parang di tangannya, semakin tegap berdiri. Tiada kecemasan sedikitpun menghiasi mukanya. Bertahun-tahun hidup di kampung hutan ini, telah melatih dirinya tidak gentar berhadapan dengan apapun juga. Matanya semakin tajam mengarah ke semak-semak yang bergoyang di depannya itu.

"Siapapun kalian, keluarlah! Aku tak akan gentar sedikit pun!’’ ucap lelaki tua itu dengan suara yang tegas.

Seketika semak di hadapannya berhenti bergoyang. Mungkin saja keberanian orang tua itu menciutkan makhluk yang menggoyangkan semak tersebut. Namun beberapa saat kemudian semak itu semakin kuat bergoyang. Lelaki tua dengan parang di tangannya bersiap-siap menunggu kejadian berikutnya. Lelaki tua itu seakan tidak mengedipkan matanya. Ia khawatir, lengah sedikit saja, yang menggoyangkan semak itu akan menyerangnya.

Malam semakin menghujam gelap. Angin membawa dingin menikam alam. Suasana semakin mencengkam. Hujan terus saja membasahi tanah, dan suara binatang malam semakin sayup terdengar. Tiba-taba dari arah semak yang bergoyang itu muncul Daham dan Karim sambil mengarahkan senapan ke arah orang tua itu. Orang tua itu pun terkejut bukan kepalang.

"Daham, Karim...’’

"Sudahlah, Wak. Wak pindah sajelah dari sini! Kami sudah muak dengan sikap Wak ini!’’ kata Daham masih mengarahkan senapan ke arah orang tua itu.

"Betul, Wak. Wak pindah sajelah, sebelum kami khilaf mate,’’ Karim sedikit berharap, namun senapan yang ia pegang tetap mengarah ke orang tua itu.

Belum sempat orang tua itu bicara, Daham kembali mengeluarkan suaranya.

"Kami sudah membujuk Wak baik-baik, tapi Wak degil. Wak tetap tinggal di sini dengan alasan marwah! Sekarang waktu kami dah habis, Wak! Pihak perusahaan tidak akan membayo kami, kalau Wak tak mau pindah!’’

"Wak, kami tak same dengan Wak. Wak hidup seorang diri, kami punye anak bini yang berhak hidup senang!’’ ucap Karim dengan suara yang mula meninggi.

Orang tua itu menarik nafas panjang. Ia betul-betul tidak menyangka Daham dan Karim akan menodongkan senapan ke arah dirinya. Seandainya orang lain yang melakukan, orang tua itu tidak akan segan menebas kepala orang tersebut dengan parang yang ada di tangannya. Ini Daham dan Karim, anak kawannya yang sama-sama membuka hutan ini dulu dan menjadikannya kampung.

"Wak, kami tidak ade pilihan lain. Wak pindah malam ini juge, atau Wak di tangan kami,’’ suara Karim bergetar.

Orang tua itu kembali menarik nafas panjang, kali ini matanya ikut terpejam. Udara dingin masuk ke hidungnya dan bergerak ke dada orang tua tersebut. Binatang malam tetap meningkah gerak waktu, walaupun suaranya sayup-sayup terdengar. Desiran daun-daun yang ditiup angin telah berkurang bunyinya. Begitu juga hujan yang menetes dari langit tidak selebat tadi. Namun rasa kesunyian semakin menusuk tubuh orang tua itu. Ia menggigil kesal.

"Tidak Karim, Daham. Aku tidak akan pindah dari tanah aku ini. Inilah tanah aku, tanah ini juga kubur aku,’’ ujar orang tua itu dengan suara datar.

"Jangan Wak kire, kami tak berani menembak!’’ ucap Karim.

"Hidup paling sunyi yang pernah aku rasakan, ketika kasih sayangku pernah singgah pada orang yang menganggap aku musuhnya. Dan hidup paling sunyi itu adalah malam ini. Karim, Daham, aku bukanlah orang yang suka mengiba. Aku tak ingin mengenang masa lalu dan menjadikannya bentengku untuk bertahan hidup. Bagi aku, hari ini, ya hari ini dan aku akan tetap berdiri tegap untuk hari ini.

Kalaupun aku mati di tangan orang-orang yang pernah kasih sayangku singgah dulu, tidak akan pernah aku sesali,’’ ucap orang tua itu sambil melangkah menuju Karim dan Daham.

Karim dan Daham saling berpandangan. Mereka berdua tidak ingin orang tua itu melangkah lagi. Keraguan memang sedang bermain di hati Karim dan Daham. Namun apabila orang tua itu semakin mendekat, tidak mustahil senapan yang mereka pegang akan melepaskan peluru ke orang tua tersebut.

"Berhenti, Wak!’’ ucap Karim.

"Ya, Wak, kami tak segan menembak, Wak,’’ Daham pula meminta orang tua itu berhenti.

"Jangan takut Karim, Daham. Setiap orang ingin mati di dekat orang yang paling dicintai. Aku tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini, tapi kawan aku dulu punya tempat mencurahkan segala rasa kasih sayang, dan aku ingin menumpangnya. Kematian yang paling menakutkan adalah mati tiada yang menangisi,’’ ujar oang tua itu semakin mendekat Karim dan Daham.

Kini orang tua itu sudah berdiri di depan moncong senapan Daham dan Karim. Jari tengah Karim dan Daham sudah pula berada di pelatuk senapan, dan jari tengah itu sudah menarik pelatuk senapan ke belakang. Karim dan Daham sudah tidak memiliki pilihan lagi, mereka terpaksa menghabisi nyawa orang tua itu malam ini.

"Dooooorrrrrr...’’ suara senapan memecah kesunyian.

Orang tua itu mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, sementara tangan kirinya mencekik leher Karim kuat-kuat, dan parang di tangan kanannya mendarat ke leher Daham.

"Ini tanah aku! Siapa pun tidak bisa mengusirku!’’ ucap orang tua itu dengan pasti.***(ak27)



Hang Kafrawi
Ketua Jurusan Sastra Indonesia, FIB Unilak Ketua Teater Matan, dan mengajar juga di STSR.



http://ak27protect.blogspot.com

Previous
Next Post »

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.