Oleh : Mexsasai Indra Nuri
[ArtikelKeren] OPINI - Pada Sabtu 19 Oktober 2013 lalu, bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Riau, mengadakan kuliah umum dengan tema “Memulihkan Martabat Mahkamah Konstitusi Melalui Pengawasan Hakim Konstitusi oleh Komisi Yudisial”.
Kuliah umum yang dibuka langsung Drs Hardi SH MH AK CPA CA selaku dekan menghadirkan nara sumber Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Dr Suparman Marzuki SH MSi.
Pada saat kuliah umum tersebut, penulis dimintakan panitia untuk menjadi moderator. Ada beberapa catatan yang ingin penulis utarakan dalam opini kali ini.
Dalam paparannya Dr Suparman Marzuki menyampaikan tiga poin penting terkait dengan materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1/ 2013 (Perppu Nomor 1/2013) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada 17 Oktober 2013 di Jogjakarta Presiden SBY telah menandatangani Perppu No 1/2013 tersebut. Perppu No 1/2013 ini dianggap Presiden SBY sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan MK yang sedang “sakit”.
Substansi Perppu No 1 Tahun 2013
Adapun tiga poin penting tersebut terdiri atas, pertama, untuk mendapatkan syarat hakim konstitusi yang makin baik, syarat hakim konstitusi, sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf i ditambah, “tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi”.
Kedua, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi disempurnakan sehingga memperkuat prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sesuai dengan harapan dan opini publik, yang tercantum pula dalam pasal 19 UU MK, untuk itu sebelum ditetapkan Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh MA, DPR dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dibentuk Komisi Yudisial.
Panel Ahli beranggotakan tujuh orang yang terdiri dari; satu orang diusulkan oleh MA; satu orang diusulkan oleh DPR; satu orang diusulkan oleh Presiden; dan empat orang dipilih oleh KY berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
Ketiga, perbaikan sistem pengawasan yang lebih efektif dilakukan dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen, dengan tetap menghormati independensi hakim konstitusi.
Oleh karena itu, MKHK dibentuk bersama oleh KY dan MK dengan susunan keanggotaan lima orang terdiri dari; satu orang mantan hakim konstitusi; satu orang praktisi hukum; dua orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatarbelakang di bidang hukum; dan satu orang tokoh masyarakat. (Pasal 27 A)
Dari tiga poin tersebut yang sempat memunculkan polemik yakni terkait dengan pengawasan terhadap hakim MK oleh KY, hal ini dikarenakan berdasarkan putusan MK No.005/PUU-IV/2006, MK telah melakukan penafsiran bahwa hakim konstitusi harus dikeluarkan dari pengertian hakim dalam konteks pengawasan KY artinya KY tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi.
Oleh karena itu apabila dibaca dalam perspektif politik hukum materi muatan ketentuan Pasal 27 A Perppu No 1/ 2013 tersebut merupakan sikap kompromis yang diambil presiden dengan memasukkan unsur lain di luar KY yang duduk dalam keanggotaan MKHK, dan pembentukan MKHK dilakukan oleh KY bersama dengan MK.
Karena kalau format pengawasan terhadap hakim MK murni dilakukan oleh KY tindakan inilah yang dianggap inkonstitusional karena dinilai bertentangan dengan putusan MK No.005/PUU-IV/2006.
Politisasi Perppu No 1 Tahun 2013
Meskipun menurut Presiden SBY Perppu No 1 Tahun 2013 ini, dianggap sebagai obat mujarab untuk menyelamatkan MK hal ini dapat dibaca pada bagian konsiderans menimbang point b yang menyatakan “bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan UUD, akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi, perlu dilakukan perubahan kedua atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK”, namun secara politis tidaklah demikian, apatahlagi berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”.
Memang berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 “Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Sungguhpun berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, presiden memiliki penilaian yang subyektif untuk menentukan hal ihwal kegentingan yang memaksa, namun penilaian subyektif presiden tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) akan dinilai oleh DPR, mekanisme inilah yang dalam teori hukum tata negara kita kenal dengan legislatif review. Pertanyaannya mampukan presiden SBY secara politik “menjinakkan” parlemen untuk meloloskan Perppu No 1 Tahun 2013 tersebut?.
Pertanyaan tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dijawab oleh presiden SBY, apalagi pengalaman menunjukkan kekuatan politik SBY melalui Setgab yang tidak solid, karena kekuatan politik di internal Setgab yang selalu melakukan tarian politik gaya bunglon, fakta ini ditunjukkan dalam voting penggunaan hak angket dalam kasus Century.
Kondisi ini akan dipersulit oleh situasi politik yang semakin memanas menjelang pemilu 2014.
Kalaupun Perppu ini lolos dari DPR hadangan berikutnya akan datang dari MK sendiri, karena kalaupun Perppu ini lolos menjadi UU di DPR, namun MK dapat melakukan pengujian terhadap UU tersebut bahkan ketika masih berbentuk Perppu pun MK memiliki kewenangan sepanjang ada pihak-pihak yang memohonkan.
Oleh karena itu kita semua berharap agar DPR bersama MK betul-betul memiliki kesucian hati untuk melihat materi muatan Perppu No 1/ 2013.
Tertangkapnya Akil Mochtar menunjukkan bahwa MK perlu pengawasan. Padahal menurut Dr Suparman Marzuki sebelum tertangkapnya Akil Mochtar oleh KPK sudah ada tujuh laporan yang masuk ke KY terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Akil Mochtar, andai saja KY memiliki kewenangan, boleh jadi kasus Akil Mochtar yang menghebohkan itu tidak terjadi? Namun apalah daya kewenangan KY itu telah layu sebelum berkembang karena dipangkas oleh MK.
Oleh karena itu pulalah, sudah saatnya para hakim MK menyadari bahwa mereka bukanlah “Malaikat Konstitusi”.
Oleh karena itu pengawasan terhadap hakim MK menjadi penting sebagaimana diamanatkan dalam Perppu No 1/ 2013 tersebut.***
Mexsasai Indra Nuri
Ketua Badan Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Unri
[ArtikelKeren] OPINI - Pada Sabtu 19 Oktober 2013 lalu, bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Riau, mengadakan kuliah umum dengan tema “Memulihkan Martabat Mahkamah Konstitusi Melalui Pengawasan Hakim Konstitusi oleh Komisi Yudisial”.
Kuliah umum yang dibuka langsung Drs Hardi SH MH AK CPA CA selaku dekan menghadirkan nara sumber Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Dr Suparman Marzuki SH MSi.
Pada saat kuliah umum tersebut, penulis dimintakan panitia untuk menjadi moderator. Ada beberapa catatan yang ingin penulis utarakan dalam opini kali ini.
Dalam paparannya Dr Suparman Marzuki menyampaikan tiga poin penting terkait dengan materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1/ 2013 (Perppu Nomor 1/2013) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada 17 Oktober 2013 di Jogjakarta Presiden SBY telah menandatangani Perppu No 1/2013 tersebut. Perppu No 1/2013 ini dianggap Presiden SBY sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan MK yang sedang “sakit”.
Substansi Perppu No 1 Tahun 2013
Adapun tiga poin penting tersebut terdiri atas, pertama, untuk mendapatkan syarat hakim konstitusi yang makin baik, syarat hakim konstitusi, sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf i ditambah, “tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi”.
Kedua, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi disempurnakan sehingga memperkuat prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sesuai dengan harapan dan opini publik, yang tercantum pula dalam pasal 19 UU MK, untuk itu sebelum ditetapkan Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh MA, DPR dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dibentuk Komisi Yudisial.
Panel Ahli beranggotakan tujuh orang yang terdiri dari; satu orang diusulkan oleh MA; satu orang diusulkan oleh DPR; satu orang diusulkan oleh Presiden; dan empat orang dipilih oleh KY berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
Ketiga, perbaikan sistem pengawasan yang lebih efektif dilakukan dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen, dengan tetap menghormati independensi hakim konstitusi.
Oleh karena itu, MKHK dibentuk bersama oleh KY dan MK dengan susunan keanggotaan lima orang terdiri dari; satu orang mantan hakim konstitusi; satu orang praktisi hukum; dua orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatarbelakang di bidang hukum; dan satu orang tokoh masyarakat. (Pasal 27 A)
Dari tiga poin tersebut yang sempat memunculkan polemik yakni terkait dengan pengawasan terhadap hakim MK oleh KY, hal ini dikarenakan berdasarkan putusan MK No.005/PUU-IV/2006, MK telah melakukan penafsiran bahwa hakim konstitusi harus dikeluarkan dari pengertian hakim dalam konteks pengawasan KY artinya KY tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi.
Oleh karena itu apabila dibaca dalam perspektif politik hukum materi muatan ketentuan Pasal 27 A Perppu No 1/ 2013 tersebut merupakan sikap kompromis yang diambil presiden dengan memasukkan unsur lain di luar KY yang duduk dalam keanggotaan MKHK, dan pembentukan MKHK dilakukan oleh KY bersama dengan MK.
Karena kalau format pengawasan terhadap hakim MK murni dilakukan oleh KY tindakan inilah yang dianggap inkonstitusional karena dinilai bertentangan dengan putusan MK No.005/PUU-IV/2006.
Politisasi Perppu No 1 Tahun 2013
Meskipun menurut Presiden SBY Perppu No 1 Tahun 2013 ini, dianggap sebagai obat mujarab untuk menyelamatkan MK hal ini dapat dibaca pada bagian konsiderans menimbang point b yang menyatakan “bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan UUD, akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi, perlu dilakukan perubahan kedua atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK”, namun secara politis tidaklah demikian, apatahlagi berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”.
Memang berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 “Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Sungguhpun berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, presiden memiliki penilaian yang subyektif untuk menentukan hal ihwal kegentingan yang memaksa, namun penilaian subyektif presiden tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) akan dinilai oleh DPR, mekanisme inilah yang dalam teori hukum tata negara kita kenal dengan legislatif review. Pertanyaannya mampukan presiden SBY secara politik “menjinakkan” parlemen untuk meloloskan Perppu No 1 Tahun 2013 tersebut?.
Pertanyaan tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dijawab oleh presiden SBY, apalagi pengalaman menunjukkan kekuatan politik SBY melalui Setgab yang tidak solid, karena kekuatan politik di internal Setgab yang selalu melakukan tarian politik gaya bunglon, fakta ini ditunjukkan dalam voting penggunaan hak angket dalam kasus Century.
Kondisi ini akan dipersulit oleh situasi politik yang semakin memanas menjelang pemilu 2014.
Kalaupun Perppu ini lolos dari DPR hadangan berikutnya akan datang dari MK sendiri, karena kalaupun Perppu ini lolos menjadi UU di DPR, namun MK dapat melakukan pengujian terhadap UU tersebut bahkan ketika masih berbentuk Perppu pun MK memiliki kewenangan sepanjang ada pihak-pihak yang memohonkan.
Oleh karena itu kita semua berharap agar DPR bersama MK betul-betul memiliki kesucian hati untuk melihat materi muatan Perppu No 1/ 2013.
Tertangkapnya Akil Mochtar menunjukkan bahwa MK perlu pengawasan. Padahal menurut Dr Suparman Marzuki sebelum tertangkapnya Akil Mochtar oleh KPK sudah ada tujuh laporan yang masuk ke KY terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Akil Mochtar, andai saja KY memiliki kewenangan, boleh jadi kasus Akil Mochtar yang menghebohkan itu tidak terjadi? Namun apalah daya kewenangan KY itu telah layu sebelum berkembang karena dipangkas oleh MK.
Oleh karena itu pulalah, sudah saatnya para hakim MK menyadari bahwa mereka bukanlah “Malaikat Konstitusi”.
Oleh karena itu pengawasan terhadap hakim MK menjadi penting sebagaimana diamanatkan dalam Perppu No 1/ 2013 tersebut.***
Mexsasai Indra Nuri
Ketua Badan Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Unri
Sumber : riaupos.co
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.