Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 21 Oktober 2013

Sanitasi dan Wajah Kota

Oleh : Apriyan D Rakhmat



[ArtikelKeren] OPINI - Sadarkah kita bahwa ternyata sebagian warga kota belum lagi dapat mengakses sanitasi lingkungan dan higienitas yang semestinya.

Walaupun 70 persen penduduk kota di dunia mendapatkan akses sanitasi, namun hanya 40 persen yang terhubungkan dengan saluran pembuangan limbah.

Padahal sanitasi dan higienitas sudah merupakan keperluan asas kehidupan modern masa kini, tidak terkecuali di negara berkembang seperti Indonesia.

Tidak berlebihan juga jika ada yang mengatakan bahwa sanitasi adalah hak asasi manusia (HAM) yang semakin mendesak untuk diperhatikan.

Hal ini tampak sepele untuk dibicarakan. Tapi sebenarnya ini adalah hal yang sangat penting di dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.

Tanpa adanya sanitasi dan hieginitas yang memadai, rasanya sukar untuk menyatakan bahwa kita sudah hidup nyaman dan apalagi berbahagia.

Malangnya, sebagian warga belum lagi memiliki jamban (toilet) yang memadai untuk sarana buang air besar dan kecil. Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-bangsa, hingga 2010 masih terdapat 63 juta penduduk Indonesia yang tidak punya toilet.

Sebagai alternatifnya mereka menggunakan toilet alam berupa sungai, danau, laut atau daratan untuk keperluan buang air kecil dan besar.

Data cukup mengejutkan sebagaimana yang disampaikan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto dalam pembukaan World Toilet Summit di Solo, Jawa Tengah yang berlangsung pada 2-4 Oktober 2013 lalu, bahwa hingga 2012 baru 57 persen penduduk yang punya akses sanitasi dari target tujuan pembangunan milenium (MDGs) minimal 62 persen.

Kebanyakan kota di Tanah Air, termasuk di Riau belum memiliki saluran pembuangan air limbah yang memadai. Berbagai aktivitas perkotaan seperti hotel, restoran, rumah sakit, dan industri belum memiliki pengolahan limbah cair atau tidak terhubung dengan jaringan saluran air limbah.

Begitu juga septic tank rumah tangga yang kebanyakan hanya berfungsi sebagai penahan lumpur, dan cairan mengalir ke saluran tersebut, sementara sebagian besar warga kota menggunakan sumber air tanah untuk keperluan air bersih, yang walaupun telah direbus kemungkinan terjangkit penyakit perut juga masih tinggi.

Akibat buruknya sanitasi berimplikasi langsung terhadap tingkat kesehatan masyarakat. Diperkirakan 2.000 anak meninggal setiap hari akibat penyakit yang diakibatkan buruknya sanitasi.

Di sisi lainnya, meskipun pelayanan penyedotan tinja di perkotaan terus meningkat, namun yang perlu juga dipertanyakan kemana truk-truk penyedot tinja tersebut membuang hasil sedotan tinjanya?

Sementara kota belum memiliki fasilitas kolam oksidasi sebelum kotoran tinja tersebut dibuang ke sungai.

Apakah penyedia jasa penyedotan tinja telah memiliki kolam oksidasinya sendiri? Hal ini terasa mendesak untuk difikirkan dan dicari solusinya di masa yang akan datang.

Termasuk juga memikirkan pembangunan saluran air limbah dan kotoran dalam skala kota, dalam upaya untuk meningkatkan kualitas air tanah dan kesehatan warga masyarakat.

Wajah Kota
Keberadaan sanitasi yang berkualitas, khususnya toilet merupakan cermin wajah sebuah kota yang maju dan beradab. Oleh karena itu, kota-kota di dunia begitu memperhatikannya supaya citra sebuah kota mendapatkan apresiasi dari warga kota dan juga para pendatang dan pelancong.

Kini, hampir di seluruh bandar udara dunia, dilengkapi dengan fasilitas toilet kelas dunia, yang selalu bersih dan harum. Begitu juga keadaannya di hotel, mal, dan pusat-pusat keramaian yang banyak dikunjungi warga.

Sebenarnya, kunci untuk melihat dan mencari tahu kebersihan sebuah kota, lihat saja bagaimana kondisi toilet umumnya, selain fasilitas pembuangan sampahnya.

Setakat ini, bagaimana kuantitas dan kualitas toilet umum perkotaan di Riau? Yang nampak mentereng dan mengkilap hanya di bandar udara, hotel berbintang, mal dan kantor perusahaan swasta besar.

Kita juga merasa tersanjung dengan berita baru-baru ini bahwa toilet bandar udara Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, adalah toilet bandar udara terbersih di Indonesia. Ini mungkin patut dicontoh untuk fasilitas publik lainnya di Riau.

Sementara untuk kawasan publik lainnya, masih belum lagi merata kuantitas dan kualitasnya, terutama di pasar, sekolah, kantor pemerintahan, rumah sakit umum, tempat ibadah, tempat wisata, terminal, pelabuhan, maupun pasar. Bahkan tak jarang ditemui, ada yang belum memiliki toilet.

Atau jumlah toiletnya sangat terbatas yang tidak sebanding dengan besarnya ruangan dan jumlah warga yang memerlukannya.

Banyak juga ditemui yang toiletnya sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Ada juga yang airnya tidak ada. Pokoknya lengkap sudah kekurangannya.

Ini merupakan tantangan besar bagi pemerintahan kota di Tanah Air, khususnya di Bumi Lancang Kuning, karena pada 2030 diperkirakan lebih dari 65 persen penduduk akan tinggal di perkotaan.

Bagaimana jadinya wajah kota jika tidak memiliki toilet yang mencukupi dan berkualitas? Siapa yang akan sudi untuk berkunjung lagi jika urusan buang air kecil saja tidak bisa diurus dengan baik? Sepele memang, namun dampaknya bisa sangat besar; berupa citra dan imej yang tidak sedap.***


Apriyan D Rakhmat
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik UIR 


Sumber : riaupos.co

Previous
Next Post »

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.